Tembakau dan Kesadaran Sejak kecil
BIOGRAFI
Ketua Umum DPN APTI, Soeseno
Ketua Umum Dewan Pembina Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Soeseno Riban atau lebih dikenal dengan Soeseno adalah tokoh pergerakan lintas organisasi yang bukan sekadar bicara tentang wawasan kebangsaan tetapi terus berjuang dalam mengawal petani tembakau di Indonesia.
Putra dari Darmowinoto ini bukan secara instan atau kebetulan berkenalan dengan tembakau. Sedari kecil, pria kelahiran Jember 22 Mei 1953 ini sudah berkutat dengan kelompok tumbuhan genus nicotiana.
“Bagi saya tembakau adalah kesadaran sejak kecil yang saya kenal. Saya hidup di masyarakat yang bergelut dengan tembakau, Saya terlibat dengan tembakau karena ayah saya dan juga teman-teman saya yang berja di ekosistem tembakau,” tegasnya.
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Jember, Jawa Timur ini menceritakan awal perkenalannya dengan tembakau dan bagaimana Kota Jember menjadi maju perekenomiannya dari kontribusi tembakau.
“Kota Jember lahir karena tembakau sejak 70 tahun lalu. Kota ini dibangun oleh Belanda dan masyarakat yang ada dikenal sebagai masyarakat perkebunan tembakau,” katanya saat berbincang santai dengan Media Center AMTI, beberapa waktu lalu.
Jember merupakan salah satu sentra perkebunan tembakau untuk cerutu. Melalui potensi tanaman tembakau ini, Jember telah lama terkenal dan melegenda sebagai “kota tembakau” dan merupakan salah satu daerah produsen dan penghasil tembakau terbesar dengan produk yang berkualitas.
Belanda pada saat itu, telah memetakan tiga wilayah di Indonesia untuk perkebunan tembakau cerutu yaitu Medan Sumatera Utara, Klaten Jawa Tengah dan Jember Jawa Timur.
Bagi Soeseno yang juga aktivis senior dan merupakan tokoh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tembakau adalah bagian dari hidupnya. Dalam kesehariaannya saat mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jember, Soeseno sudah ikut menanam tembakau di kebun bersama sang ayah.
“Perkebunan tembakau di Jember sangat luas. Setiap pulang dari sekolah saya biasanya melewati areal perkebunan tembakau khususnya saat musim tanam dan panen,” ujarnya.
Selain ikut menanam, Soeseno kadang-kadang ikut menyirami tanaman tembakau “ngocor” selain itu pada saat musim panen tiba ia akan dilibatkan untuk menghitung banyaknya daun tembakau yang dipanen.
“Menghitung daun tembakau tidak dilakukan setiap hari, tapi dilakukan setiap dua minggu sekali. Itu saya lakukan untuk membantu orang tua di waktu senggang,” tambah dia.
Baca juga :https://amti.id/petani-pamekasan-gelar-tanam-raya-bersama-sebagai-komitmen-melestarikan-tembakau/
Menghitung daun tembakau biasanya dilakukan saat panen tiba. Karena sebagian besar petani menyadari bahwa mengelola daun tembakau hingga menjadi rokok memerlukan biaya yang cukup besar. Maka petani hanya menjual daunnya ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk proses lanjutan seperti grading (penilaian mutu tembakau). Proses grading ini dilakukan oleh pekerja perempuan dengan menumpuk lembar-lembar daun tembakau. Biasanya periode memilah – milah daun tembakau dilakukan selama 1 tahun.
“Tembakau ini tanaman yang cukup sensitif karena tidak tahan dengan panas. Selama kurun waktu 15 hari daun tembakau akan terlihat besar dan perlu diairi. Dalam proses itu, saya ikut terlibat, sangat menyenangkan sekali,” katanya bersemangat. Selain terlibat dengan kegiatan menanam hingga menghitung jumlah daun tembakau. Soeseno juga menceritakan bagaimana iya berhasil mendapatkan sepeda dari hasil sang ayah dari hasil menjual daun tembakau.
“Suatu hari saya ikut dengan ayah saya menjual tembakau. Saat itu, tembakau yang dijual laku kami mendapatkan Rp 115 ribu. Nilai tersebut sangat besar kala itu. Ayah saya pun menawari saya untuk satu sepeda. Saya sangat bahagia, karena dari hasil menjual tembakau saya mendapatkan sepeda,” ungkap Soeseno.
Kemajuan perekonomian Kota Jember tidak lepas dari perkebunan tembakau. Menurut Soeseno, setiap kali panen tembakau ruas – ruas jalan di Jember dipadati warga untuk berbelanja keperluan sehari – hari atau sekedar menikmati hasil penjualan tembakau.
Sebagian masyarakat kala itu, sudah memiliki sepeda motor dari hasil penjualan tembakau, sambil menggunakan sarung mereka akan berkeliling kota.
“Kalau berbelanja sudah tidak pakai tawar menawar lagi. Bayangkan bagaimana kota Jember kalau itu maju karena tembakau. Tembakau mampu menghidupi masyarakat kebun,” katanya.
Terlibat di APTI
Melakukan pengawalan dan advokasi bagi petani tembakau menurut Soeseno bukan perkara mudah. Kampanye hitam dan tekanan untuk konversi tanaman tembakau ke tanaman lain hingga tembakau berdampak pada kesehatan menjadi makanan sehari-hari yang menekan para petani.
Berbekal pengalaman berorganisasi melawan ketimpangan sosial, Soeseno mengungkapkan mulai terlibat dalam membangun Asosiasi Petani Tembakau.
“Dari kegelisahan itu yang dialami petani, saya pun dilibatkan oleh teman-teman untuk membantu petani tembakau. Saya berfikir bahwa tanaman tembakau adalah spesifik lokasi,” katanya.
Ada beberapa jenis tembakau di Indonesia yang tumbuh subur. Saat itu, asosiasi petani tembakau dibangun berdasarkan spesifik lokasi, seperti asosiasi petani tembakau kasturi dari Jember, asosiasi petani tembakau Madura. Untuk menyatukan asosiasi-asosiasi itu, makan dijadikan satu nama yang merangkul semuanya yakni Asosiasi Petani Tembakau Indoensia (APTI).
Keunikan tanaman tembakau adalah tidak bisa ditanam diberbagai daerah. “Kalau bibit yang sama ditanam di daerah lain hasilnya akan berbeda, sama halnya seperti kopi,” tuturnya.
Dari rasa tembakau yang berbeda-beda itulah, kemudian saat dibawa ke pabrikan akan di blending (pencampuran) sehingga mendapatkan rasa khas pabrik rokok.
Kekhasan itu menjadi kekuatan, lebih lanjut Soeseno mengatakan, biasanya tembakau Temanggung, Madura dan Jember memiliki rasa yang berbeda-beda.
Soeseno mengutip guru besar tembakau yang mengatakan kalau bicara tembakau Jember adalah Na Oogst yang dibagi penanamannya Na adalah tembakau menjelang musim penghujan, Voer menjelang musim kemarau.
Soeseno menambahkan, tanaman tembakau ini awalnya dibawa oleh bangsa Portugis dan dipopulerkan oleh Belanda. Tanaman tembakau juga mengalami banyak perubahan, mulai dari banyaknya jenis tembakau hingga ukuran daun yang jauh berbeda dengan yang sekarang.
“Dulu tanaman tembakau itu bisa memiliki tinggi empat meter meski batangnya kecil. Saya liat itu fotonya di museum perkebunan. Kalau saat ini varietasnya lebih pendek, mungkin setinggi saya,” tuturnya.
Untuk menjadi sebuah bahan cerutu yang berkualitas, daun tembakau akan melalui tahapan yang panjang. Soeseno menyebutkan ada 21 proses yang harus dilalui di antaranya mulai dari daun tembakau yang dikeringkan melalui proses pengasapan menggunakan bara api hingga pengeringan batang.
Daun-daun tembakau akan disimpan dalam gudang yang dibangun dari bambu beratapkan daun tebu di dalamnya akan ditutup kelambu yang bertujuan untuk mencegah hama. Daun tembakau membutuhkan waktu fermentasi agar rasa tembakau tidak berubah. Tembakau yang disimpan bisa bertahan hingga empat tahun, hingga bisa dirajang untuk rokok. “Cukup panjang prosesnya dan membutuhkan waktu fermentasi yang cukup lama,” jelasnya.
Daun-daun tembakau asal Jember lalu akan diekspor ke pasar besar di Kota Bremen, Jerman. “Daun tembakau kemudian akan dijual di pasar besar Bremen, model transaksinya adalah dilelang. Tembakau Indonesia sangat dibutuhkan karena kekhasanya dengan komposisi 40 persen untuk satu cerutu. Cerutu itu tidak dicampur cengkeh dan flavor jadi murni tembakau,” jelasnya.
Menyerap Tenaga Kerja Wanita
Tembakau di Jember juga berkontribusi besar dalam menyerap tenaga kerja wanita. Tenaga kerja wanita ini sangat dibutuhkan untuk menentukan kualitas daun tembakau cerutu.
Pada saat grading akan melibatkan para wanita. Kenapa harus pekerja wanita? Soesno menjelaskan, para wanita memiliki kemampuan ketelatenan dalam memilih dan memilah daun tembakau yang berkualitas.
Dalam satu gudang, biasanya mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih 1.500 tenaga kerja.
“Untuk bahan rokok cerutu semuanya full dilakukan tenaga kerja manusia karena jika menggunakan mesin tidak bisa, daun tidak boleh robek atau berlubang,” ujarnya.
Bahkan, bekerja di sentra tembakau di Jember menjadi pride (kebanggaan) para wanita saat itu. Biasanya para wanita jika ditanya bekerja di mana akan menjawab di gudeng “bekerja di tembakau”.
“Di Jember itu, kalau bekerja di tembakau itu menjadi gengsi tersendiri, apalagi jika sudah mendapatkan jabatan sebagai mandor 1 yang bertugas menentukan pekerjaan seseorang, saya punya tetangga mandor, karena dia sudah berpengalaman bertahun – tahun ia kemudian diangkat menjadi mandor dan ini posisi yang bergengsi,” tambah dia.
Meski pekerja di tembakau didominasi para pekerja wanita. Namun kultur Madura menyematkan bahwa tembakau adalah tanaman laki-laki (reng lakek – bahasa madura). Artinya, semua keputusan dan pembiayaan menanam tembakau harus dilakukan laki-laki. “Seperti menanam tembakau dibiayai oleh hutang dan lain sebagainya itu diputuskan oleh laki-laki,” katanya.
Kondisi Tembakau Saat Ini
Meski sempat berjaya beberapa tahun silam, tanaman tembakau terus bertahan hingga saat ini. Soeseno berpandangan kondisi tembakau saat ini jauh berbeda.
Meski banyak stigma-stigma negatif tentang tanaman tembakau, tanaman ini merupakan salah satu tanaman yang harus dilestarikan keberadaannya.
“Apa-apa saat ini (penyakit) seolah-olah dikaitkan dengan tembakau. Memang itu persepsi orang. Tapi bagi petani, menanam tembakau itu warisan yang harus dilestarikan,” ungkapnya.
Kendati dihujami banyak stigma negatif, Soeseno terus melakukan pengawalan dan mengadvokasi tembakau. “Jangan melihat tembakau dengan sisi negatifnya saja, kontribusi tembakau ini cukup banyak,” katanya.
Di antaranya dapat menyerap banyak tenaga kerja. Contohnya banyaknya tenaga kerja wanita di ekosistem ini tanpa memandang pendidikannya apa bisa membaca atau menulis. Syarat yang dibutuhkan, Soeseno melanjutkan hanya diperlukan pemahaman bisa melihat daun tembakau dengan kualitas yang baik.
“Tesnya hanya bisa melihat warna tembakau. Karena sekali lagi, proses grading dan sortasi dalam membedakan warna, membedakan panjang, ketelitian sangat dibutuhkan. Mereka melakukan bir-biran tembakau dengan cara membuka pelan-pelan tembakau menjadi lebar dan kemudian difermentasi dengan cara ditumpuk,” tutur dia.
Fermentasi sangat dibutuhkan karena berpengaruh terhadap rasa. “Makin difermentasi maka rasa akan semakin mantab. Biasanya yang di atas akan ditaruh di bawah, begitu juga sebaliknya,” tutupnya.
Tutup Usia 69 Tahun
Perjuangan Soeseno dalam mengawal tembakau memang tidak diragukan lagi. Di akhir hayatnya Soeseno terus berupaya agar petani tembakau di Indonesia mendapatkan posisi yang laik untuk diperjuangkan penghidupannya dan tembakau dapat terus dilestarikan.
Seoeno wafat pada, Minggu 4 Desember 2022. Dia meninggal dalam usia 69 tahun setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Selamat jalan Pak Seno, terima kasih untuk dedikasi dan sumbangsih untuk ekosistem tembakau.
Biodata Singkat
Nama : Soeseno
Pendidikan:
SD Brawijaya Jember tahun 1965
SMP Katholik Jember tahun 1968
SMA Katholik St Paulus Jember 1971
S1 Universitas Jember Fakultas Ekonomi 1982
Pengalaman Organisasi
Pramuka Gudep Jember Satu 1966-1968
GMNI Jember Korda Jawa Timur 1976 – 1983
Ketua Senat Mahasiswa FE Universitas Jember 1980-1983
Mitra Tani Jogjakarta Perwakilan Jember 1983-1990
Sanggar Kebangsaan 1996 – 2022
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia 2021-2026