Gelar Wiwit Mbako, Masyarakat Temanggung Khusus Doakan Tembakau Tidak Disamakan dengan Narkotika
TEMANGGUNG – Masyarakat Desa Tlahap, Kledung, Temanggung tumpah ruah di tengah ladang tembakau. Ratusan warga dari setiap rukun tetangga (RT) membawa ambengan (nasi tumpeng) sebagai wujud syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa dalam ritual Wiwit Mbako.
Doa khusus yang dipanjatkan masyarakat Desa Tlahap selain panen tembakau lancar dan harga terjaga, petani juga berharap kepastian terhadap keberlangsungan mata pencaharian mereka di tengah polemik Pasal 154 Mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Dalam doa dan ritual Wiwit Mbako ini, masyarakat Desa Tlahap ingin menunjukkan bahwa tembakau yang merupakan berkah semesta alam ini telah membawa kemaslahatan bagi banyak orang. “Dapur kami, pendidikan anak-anak kami, semua berasal dari tembakau. Tembakau yang mensejahterakan kami. Kami tidak terima dan terus menyuarakan penolakan agar tembakau tidak disamakan dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol seperti yang ada di Pasal 154 RUU Kesehatan,” ujar Hariyanto, petani tembakau Desa Tlahap, Jumat (9/6).
Wiwit Mbako biasanya memang dilakukan setelah usia tembakau yang ditanam 2-3 bulan. Sesuai proyeksi BMKG, tahun ini cuaca bersahabat bagi petani tembakau. Sehingga para petani memiliki harapan tinggi sampai akhir musim tembakau nanti dan tetap bisa mengolah tembakau dengan sebaik-baiknya dan dimudahkan menghadapi tantangan khususnya regulasi yang menekan petani. “Tembakau adalah andalan kami. Tembakau mata pencaharian kami. Kami siap memperjuangkan tembakau sampai titik darah penghabisan,” tegas Hariyanto.
Senada, Cipto Utomo, dari kelompok tani Sarwodadi, menuturkan upaya meloloskan klausul tembakau di RUU Kesehatan adalah bentuk pengkhianatan pemerintah yang selalu menjanjikan pemberdayaan petani. Menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol, sebut Cipto sangat mencederai upaya petani yang berusaha mandiri dan sejahtera. “Saangat tidak masuk akal Pasal 154 ini. Petani jelas dan tegas menentang. Tembakau adalah berkah dari Yang Maha Kuasa bagi petani. Kami bisa berdaya, ekonominya tetap berputar karena tembakau. Menanam tembakau bukan kegiatan melanggar hukum. Kami petani taat pada undang-undang. Kenapa kami dikhianati? Harusnya sumber mata pencaharian kami dijaga dan dilindungi,”kata Cipto.
Ia juga sangat menyayangkan upaya dari kelompok anti-tembakau yang mengampanyekan konversi (peralihan lahan). Menurut Cipto, ajakan konversi tersebut sama saja dengan upaya membunuh petani perlahan-lahan. “Kami petani yang setiap hari di ladang, kami tak perlu diajari. Tidak ada tanaman semusim yang bisa diandalkan dan memberi manfaat besar selain tembakau,”katanya.
Baca Juga: https://amti.id/timbulkan-gejolak-warga-desa-tlahap-tolak-kampanye-konversi-lahan-tembakau/
Ahmad Ismayudin, Lurah Desa Tlahap, menuturkan bahwa ritual Wiwit Mbako ini diakukan secara mandiri oleh masyarakat Desa Tlahap dengan melibatkan seluruh kepala desa se-Kecamatan Kledung. Desa yang 90 persen masyarakatnya adalah petani tembakau ini, melalui budaya dan tradisi turun-temurun memohon perlindungan dari regulasi yang tidak adil, yang menyakiti dan mengabaikan hak-hak serta masa depan petani.
“Tembakau telah sejak lama dikepung dengan kampanye-kampanye negatif. Kelompok-kelompok anti tembakau ini tidak melihat secara menyeluruh bahwa tembakau adalah identitas dan budaya kami. Di sini, tidak sembarangan menanam tembakau. Wiwit Mbako adalah ritual agar para petani dan masyarakat diberi keberkahan dan keselamatan. Jadi, harapan kami jangan ada lagi dorongan atau seruan konversi lahan tembakau yang membuat situasi tidak kondusif,”tegas Ismayudin. (*)