Asosiasi petani tembakau kembali menyampaikan penolakan terhadap pengetatan produk tembakau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan implementasi Peraturan Daerah untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Salah satu aturan yang disoroti adalah penyeragaman kemasan rokok polos.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman Mudhara mengatakan, peraturan yang sedang digodok Kementerian Kesehatan atau R-Permenkes terhadap Produk Tembakau, justru abai terhadap kontribusi ekosistem pertembakauan.
Dia menilai, peraturan tersebut dirancang minim keterlibatan dan dari elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
“Kami sangat menyayangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tidak memikirkan dan mengkaji dampak panjang dari rancangan aturan tersebut. Apalagi kondisi ekonomi sedang sulit seperti saat ini, PHK marak, pabrikan tutup, dan daya beli masyarakat turun. Apapun peraturan atau kebijakannya, wajib dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi serta melibatkan seluruh pihak terkait,” kata Budhyman dalam keterangannya, dikutip Rabu (12/3/2025).
Budhyman mengatakan mendukung capaian program Asta Cita pemerintah Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong peningkatan ekonomi sebesar 8%. Namun disayangkan, salah regulasi yang telah ditetapkan menjadi ancaman bagi petani tembakau
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menjaga keseimbangan, mendorong daya saing pertumbuhan dan meningkatkan perlindungan Industri hasil tembakau (IHT) yang menjadi tumpuan 6 juta tenaga kerja.
“Ini bisa berdampak pada serapan pekerja dan menurunnya produktivtias petani yang menggantungkan kehidupannya pada IHT yang meliputi petani tembakau, petani cengkeh, pekerja manufaktur, pedagang asongan, pedagang pasar, hingga pekerja kreatif,” ungkapnya.
Alasan Penolakan
Dia menilai pengetatan pada produk tembakau ini terdapat kepentingan pihak tertentu. Ia pun menduga ada kaitannya dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengurangi permintaan dan pasokan tembakau.
“Mengapa kita, sebagai negara yang berdaulat, harus berkiblat pada FCTC? Yang notabene Indonesia sendiri tidak ikut meratifikasinya. FCTC juga bukan landasan hukum kita. Sehingga mengapa dalam menentukan arah kebijakan pertembakauan yang potensi dan kontribusinya begitu besar, harus berkiblat pada asing?” ujar Budhyman.
Menurutnya, IHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun terhadap penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) pada 2024. Sumbangsih ini mencerminkan porsi lebih dari 10% dari total penerimaan pajak nasional, yang menjadikan IHT sebagai salah satu kontributor utama bagi kas negara.
Namun, dengan besarnya kontribusi IHT terhadap pemasukan negara, penyerapan tenaga kerja, hingga efek domino di tingkat daerah, Budhyman menekankan pentingnya dukungan pemerintah melalui peraturan yang adil, berimbang, dan mendorong ekosistem pertembakauan untuk tetap tumbuh dan berkembang.
“Sudah seharusnya IHT dilindungi, diberi kesempatan untuk bertumbuh, mandiri dan berdaya saing. IHT perlu didukung pemerintah melalui peraturan yang mendorong keberlanjutan IHT, bukan mematikannya. Seluruh pemangku kepentingan di ekosistem ini siap untuk bekerja sama dengan pemerintah dan terlibat aktif berdiskusi dan memberikan masukan dalam penyusunan berbagai peraturan baik di level pusat maupun daerah,” tutup Budhyman.