Ilustrasi pekerja di industri hasil tembakau (IHT). Foto: MI/Panca Syurkani

Kebijakan Kemasan Rokok Polos Ancam Pekerja IHT

Wacana kemasan rokok polos yang digulirkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2024 (PP 28/2024) kembali menuai penolakan. Serikat pekerja menilai kebijakan ini dapat mengancam kelangsungan industri rokok, termasuk tenaga kerja.

Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) meyakini kebijakan kemasan rokok polos ini akan berpengaruh besar terhadap sektor tenaga kerja. Kebijakan ini juga tidak sejalan dengan program pemerintah untuk penciptaan lapangan pekerjaan.

“Wacana kemasan polos ini bertabrakan dengan program pemerintah. Kami menuntut agar Pemerintah hadir untuk melindungi dan memberikan kepastian jaminan hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak demi kemanusiaan,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM SPSI, Sudarto AS dalam keterangan tertulis, Selasa, 18 Februari 2025.

Kekecewaan semakin mendalam setelah pembahasan lanjutan mengenai kebijakan kemasan rokok polos terus berlangsung, sementara peran dan suara para pekerja tetap terpinggirkan. Sudarto menegaskan, aspirasi buruh dalam berbagai kesempatan melalui FSP RTMM SPSI tidak mendapatkan perhatian yang cukup.

“Terkait RPP Kesehatan, Kemenkes memang telah membuat kesepakatan tertulis untuk melibatkan kami, termasuk kami memonitor dan bertanya perkembangannya, namun belum ada progres dan informasi lebih lanjut yang dapat kami ketahui,” ungkap dia.

Regulasi Berjubel, Ekosistem Tembakau Ikut Tertekan

Mengingat kondisi ini, ia mengingatkan, industri hasil tembakau (IHT) merupakan sumber utama mata pencaharian bagi banyak anggota serikat pekerja. Saat ini, lebih dari 95 persen pasar rokok di Indonesia adalah rokok kretek yang merupakan produk rokok padat karya dengan jutaan orang pekerja.

“Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan industri padat karya yang sesungguhnya industri strategis nasional yang seharusnya dijaga dan dikembangkan Pemerintah,” ungkap dia.

Rokok Ilegal Diprediksi Meningkat

Mengutip data Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), penyeragaman kemasan rokok dapat memicu pergeseran konsumsi sehingga menurunkan permintaan rokok legal sebesar 42,09 persen. Jika aturan ini diterapkan, maka penyelundupan produk rokok ilegal diprediksi meningkat.

Selain itu, negara akan mengalami kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun, dengan penurunan penerimaan perpajakan Rp95,6 triliun. Dampak lanjutannya adalah tergerusnya lapangan kerja akibat industri resmi yang tidak mampu bertahan, serta berpotensi melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI).

Sebelum PP 28/2024, IHT sudah dihimpit oleh banyaknya regulasi. Sebanyak 400 peraturan (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya lima (1,12 persen) regulasi yang mengakomodasi isu ekonomi dan kesejahteraan.

Facebook Comments Box