Soal RUU Kesehatan, Petani dan Peritel Sebut Jangan Ada Pasal Diskriminasi Terhadap Tembakau
JAKARTA – Sebelumnya sempat diwacanakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI pada Selasa (20/6). Namun, menurut Puan Maharani, Ketua DPR RI, pihakya akan mendalami perkembangan lebih lanjut terkait RUU Kesehatan. Kendati demikian, elemen ekosistem pertembakauan berkomitmen terus mengawal keberadaan pasal mengenai pengamanan zat adiktif, mulai dari pasal 154 hingga pasal 158, dan pasal 457 dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Samukrah, Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan menegaskan bahwa petani tetap mengandalkan tembakau sebagai sumber mata pencaharian. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu melindungi hak ekonomi, ladang penghidupan dua juta petani yang bergantung pada tembakau.
“Pemerintah harus bijak dalam membuat peraturan. Harus dikaji dampaknya pada berhentinya petani yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. Tembakau adalah mata pencaharian utama kami di Madura. Jangan sampai pasal-pasal pengamanan zat adiktif, termasuk yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol membunuh para petani,”ujarnya.
Baca Juga: https://amti.id/praktik-diskriminasi-konsumen-produk-tembakau-pemerintah-abaikan-asas-perlindungan/
Senada, Anwar, petani tembakau di Lampung Selatan menuturkan jika pasal pengamanan zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol di RUU Kesehatan Omnibus Law ini lolos, bukan hanya petani, namun juga seluruh mata rantai pertembakauan terdampak. Sebagai petani yang sudah 12 tahun menanam tembakau, Anwar menolak keras keberadaan pasal-pasal pengaturan tembakau di RUU Kesehatan yang berujung pada pelarangan total tembakau.
“Pemerintah tidak boleh mengabaikan begitu saja kontribusi tembakau sebagai komoditas penyumbang penerimaan negara melalui cukai tembakau dan pajak rokok. Begitu pula penyerapaan jutaan tenaga kerja. Kenyataannya selama ini, tembakau juga sudah berkontribusi terhadap kesehatan melalui timbal balik DBHCHT,” tegasnya.
Baca Juga: https://amti.id/apti-terus-kawal-proses-pengesahan-ruu-kesehatan-khusus-regulasi-tembakau/
Ia juga menyayangkan masifnya tekanan dan kampanye yang terus dilakukan oleh kelompok-kelompok anti-tembakau yang berupaya menghilangkan ekosistem pertembakauan di Indonesia. “Tembakau adalah tanaman dengan nilai ekonomi tinggi, bermanfaat tapi selalu dimusuhi. Bahkan saat ini disamakan dengan barang ilegal. Berarti ada upaya untuk mengkriminalisasi petani sampai konsumen. Ini perlakuan yang tidak adil!,” seru Anwar.
Elemen pedagang dan peritel juga masih khawatir dengan polemik RUU Kesehatan Omnibus Law, terutama terkait pasal pertembakauan. Seperti yang diutarakan oleh Anang Zunaedi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) bahwa pasal 154 dan pasal-pasal lainnya terkait pengamanan zat adiktif, pada praktinya memarginalkan produk hasil tembakau yang berdampak langsung pada omzet peritel dan UMKM. Yang mana para peritel mengandalkan pendapatannya pada konsumen produk tembakau namun diciptakan ketakutan kriminalisasi hak-haknya yang disamakan dengan pecandu narkotika. “Padahal jelas-jelas tembakau adalah komoditas andalan dan produk yang legal diperdagangkan serta legal dikonsumsi. Harapan kami Pasal 154 dihapus. Ingat, bahwa ekosistem pertembakauan dan seluruh elemen di dalamnya adalah kontributor perekonomian masyarakat dan memberi sumbangsih pada penerimaan negara,”tambah Anang. (*)