Mengulik Cerita Wanita Tangguh di Balik Pabrik SKT Salatiga
KEPULAN asap tipis mulai keluar perlahan dari penanak nasi, gemericik minyak goreng panas terdengar sayup memecah keheningan di satu subuh buta. Hampir sebagian orang di Kota Salatiga, Jawa Tengah masih terlelap. Tak terkecuali, Sri Sunarti (44) tahun yang harus terjaga untuk mempersiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.
Saban hari, Sri Sunarti harus membagi peran sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarganya sekaligus menjadi tulang punggung. Wanita paruh baya ini bekerja sebagai buruh linting untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) di PT Agric Armaga Jaya sejak 2000 silam.
Di awal bekerja di pabrik SKT, Sri akrab Sri Sunarti disapa bekerja dibagian penggilingan selama tujuah tahun dan kemudian menjadi leader. Sri kemudian dipindah ke bagian pengepakkan selama 10 tahun dan kembali lagi ke bagian pengilingan.
“Saya bekerja di sini adalah untuk menafkahi keluarga. Saya bisa menyekolahkan anak saya hingga perguruan tinggi dan bisa merenovasi rumah,” ungkap ibu dua orang anak ini saat berbincang dalam kunjungan wartawan ke PT Agric Armaga Jaya yang tergabung dalam paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), di akhir September lalu.
Baca juga: https://amti.id/serap-aspirasi-pekerja-sektor-iht-bea-cukai-dan-amti-kunjungi-mpsi-salatiga/
Menjadi buruh linting bagi Sri memberikan kontribusi besar bagi diri dan keluarganya. “Saya berkerja ini atas restu dari suami saya, adanya tantangan hidup bukan menjadi beban, tapi harus dihadapi,” tegasnya.
Sri berharap, pabrik-pabrik SKT mendapatkan perlindungan dari pemerintah agar tidak ditutup. Bekerja di pabrik SKT memberikan kontribusi untuk kebutuhan hidup sehari – hari.
“Apalagi saat pandemi, banyak pabrik yang melakukan PHK karyawannya. Saya merasa ketar ketir, tapi pabrik ini tidak melakukan PHK karyawannya ini merupakan anugerah. Kalau pabrik tutup kami akan kehilangan pekerjaan sementara kami adalah tulang punggung keluarga,”tandasnya yang mengaku mendapatkan banyak fasilitas bekerja di pabrik di antaranya tunjangan hari raya (THR), fasilitas kesehatan dan bonus.
Lain kisah yang dirasakan Andini (20) yang baru satu tahun bekerja di PT Agric Armaga Jaya. Wanita berjilbab ini menuturkan bekerja sebagai buruh di pabrik rokok adalah berkah.
Kenapa tidak, Andini yang sebelumnya bekerja di Kuningan Jawa Barat ini menjadi korban badai PHK pada masa pandemi, ia lalu memutar otak untuk tetap membantu memenuhi kebutuhan keluarga sehari – hari.
“Saya sempat bekerja di Kuningan, memasuki masa pandemi saya di PHK. Saya sempat bingung mau cari kerja kemana lagi. Berdasarkan informasi dari keluarga saya di Salatiga sebuah pabrik SKT sedang mencari tenaga kerja dan saya memberanikan untuk melamar dan bersyukur bisa diterima kerja,” ujarnya yang tercatat telah bekerja selama satu tahun di bagian pengemasan.
“Pekerjaan ini berkah bagi saya, bersyukur sekali kerja di sini, lingkungan kerja baik, mandor dan teman-teman baik, saya betah bekerja,” ungkapnya.
Sulung dari enam bersaudara ini tidak lagi pusing untuk membantu perekonomian keluarga. Selain membiayai sekolah adik – adiknya, Andini bisa melanjutkan pendidikan ke jejang perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Amala Salatiga.
“Di pundak saya ada tanggung jawab dan tekad untuk bekerja, saya harus berjuang untuk itu,” tegasnya.
Untuk itu, Andini berharap pemerintah bisa lebih mendengarkan suara para pekerja di sini. “Saya gelisah kalau mendegar informasi negatif tetang pabrik SKT, kami berharap pemerintah dapat melindungi kami para pekerja. Karena kami di sini untuk bertahan hidup, kami mohon pemerintah mendengarkan aspirsasi kami,” tutup dia.
Selain Sri Sunarti dan Andini yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, Asmarun Marsiah (40) bekerja di pabrik SKT adalah suatu hal yang mustahil. Asmarun merupakan difabel yang kini mampu bekerja membantu kebutuhan hidup keluarga.
Asmarun tidak menyangka kekurangan yang dimilikinya ternyata tidak membuatnya tak berdaya. “Memang saya akui, saya pernah merasa sangat pesimis dalam hidup karena saya difable, tapi nabib membawa saya bekerja di sini,” ungkapnya.
Dari ajakan teman, Asmarun yang telah bekerja selama 20 tahun dipegilingan kini merasa percaya diri. “Bekerja di sini saya betah, karena saya merasa tidak dibeda – bedakan dari yang sempurna dan tidak sempurna, manajemen tidak mendiskrimasikan atau membeda – bedakan saya. Alhamdulilah, kebutuhan hidup keluarga saya tercukupi meski suami saya kerjanya serabutan,” tutur Asmarun yang berharap pabrik SKT tetap terus ada dan dilindungi. (*)