Kebangkitan Ekosistem Pertembakauan Butuh Perlindungan dan Kepastian Hukum
Jakarta, 20 Mei 2022 – Pelonggaran aktivitas kegiatan secara umum yang disampaikan pemerintah menjadi angin segar bagi industri untuk memulihkan diri dan menyiapkan sederet strategi. Termasuk industri hasil tembakau (IHT) untuk memulihkan diri dan bertumbuh pasca pandemi.
“Stigma negatif sangat kental melekat pada tembakau. Padahal Indonesia adalah penghasil tembakau kualitas terbaik. Tembakau Deli, Tembakau Temanggung, Tembakau Jember, Madura, Lombok, membutuhkan perlindungan pemerintah dan kepastian hukum yang memayungi mulai dari hulu hingga hilir,” ujar Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono dalam momentum Halal Bihalal AMTI Bersama Media, Jumat, 20 Mei 2022.
Menanggapi situasi dan kondisi ini, Ali Rido, pengamat hukum dari Universitas Trisakti yang hadir sebagai narasumber memaparkan bahwa negara tidak boleh sewenang-wenang dan wajib melindungi ekosistem pertembakauan.
Baca juga : https://amti.id/hahal-bihalal-amti-serukan-ekosistem-pertembakauan-perlu-proteksi-pemerintah/
Sebagai negara hukum menurutnya, pemerintah wajib menjunjung rasa keadilan dalam memberikan kesempatan kepada industri ini untuk bisa tumbuh dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.
“Dalam menerbitkan regulasi terkait pertembakauan, stakeholder harus dilibatkan. Pemerintah dalam melakukan implementasi kebijakan harus benar-benar memenuhi rasa keadilan,” tegas Ali Rido.
Lanjutnya, bahwa produk tembakau adalah produk legal yang dilindungi payung hukum, oleh karena itu, seluruh bagian dalam ekosistem pertembakauan mulai dari petani, pekerja, pabrikan hingga konsumen berhak mendapat perlakuan yang sama dengan ekosistem industei lainnya.
“Ketika berbicara tentang hukum, dalam konteks produk tembakau, saya mencatat ada 12 putusan MK, yang jelas menegaskan bahwa produk tembakau bukan produk yang dilarang untuk diperjualbelikan,” kata Ali Rido.
“Esensi legalitas produk tembakau sudah jelas. IHT telah kontribusi terhadap APBN, ada cukai hasil tembakau yang memberi sumbangsih dan kontribusi terhadap penerimaan negara. Dan, secara jelas, mata rantai elemen IHT seluruhnya sebagai badan hukum telah membayar pajak. Maka, sudah sewajarnya IHT perlu mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan berimbang,” ujarnya.
Baca juga: https://amti.id/wakil-wali-kota-medan-komitmen-kembalikan-kejayaan-tembakau-deli/
Yang tak luput dari ekosistem pertembakauan yang juga perlu mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum adalah tenaga kerja. Ekosistem pertembakauan menjadi sektor padat karya yang menyerap 5, 98 juta tenaga kerja.
Tenaga kerja meliputi mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, buruh pelinting hingga pekerja kreatif. ” IHT belum diberikan ruang dan kesempatan untuk bertumbuh leluasa. Implementasi peraturan dan kebijakan yang ada dirasa belum berimbang dan adil terhadap IHT membuat sektor ini, dari hulu hingga hilir, berada dalam ketidakpastian. Petani tembakau masih berharap tanam dan panen raya dapat maksimal, pabrikan masih punya asa agar serapan dan produksi tetap tinggi.
Para pekerja masih terus berjuang mendapatkan kepastian perlindungan dari pemutusan hubungan kerja
dan meraih kesejahteraan. Industri menyiapkan strategi untuk tetap bisa bertahan, dan di hilir ada konsumen yang berharap daya beli bisa kembali pulih,” Hananto menjelaskan.
Begitupun dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), tambah Ali Rido, perlu dipertanyakan proporsinya secara regulasi. Apakah pemanfaatan dan distribusi DBHCHT sudah dirasakan secara merata dapat dirasakan oleh para pekerja sektor pertembakauan dari hulu hingga hilir. “Dalam praktiknya, regulasi terkait proporsi dan penyaluran DBHCHT perlu kita pertanyakan. Kembali ke awal, apakah sudah melingkupi porsi yang pas untuk kesejahteraan petani dan pekerja lainnya,” tutup Ali Rido